6 Faktor Pemicu Tsunami Politik dan Krisis Ekonomi Sri Langka

6 Faktor Pemicu Tsunami Politik dan Krisis Ekonomi Sri Langka – Keadaan terkini Sri Langka terbilang semakin goyang lantaran Presiden Gotabaya Rajapaksa harus mundur dari jabatannya, Kamis (150722). Kemudian Ranil Wickremesinghe secara resmi dilantik sebagai penerus perjuangan Gotabaya untuk memulihkan kondisi ekonomi dan politik negara.

Tak banyak alasan yang menyebabkan Gotabaya harus mengasingkan dirinya dari Sri Langka. Kabar terbaru, Ia menetap sementara di Bangkok, Thailand untuk mengamati perkembangan pasokan pakan dan kebutuhan pokok yang menimpa seluruh warganya.

Diketahui bahwa belakangan ini segala macam kebutuhan pokok sehari – hari, obat – obatan, makanan hingga bahan bakar di Sri Langka semakin terbatas. Hal itu memicu harga jual semakin melambung tinggi. Akibatnya ribuan masa harus turun ke jalan untuk meminta pertanggung jawaban Wickremesinghe.

Sang presiden meminta para warganya untuk bersikap sabar dalam menghadapi masa – masa sulit seperti saat ini. Sebab pihaknya masih memerlukan banyak waktu dan berusaha keras untuk memulihkan semuanya.

Menurut laporan BBC, Sabtu (130822), Sri Langka tengah berada dalam masalah besar. Adapun beberapa faktor yang memicu terjadinya tsunami politik dan krisis ekonomi di wilayah tersebut, yakni;
Terlilit Hutang Menumpuk
Sri Langka menjadi saksi besar atas terjadinya perang saudara yang terjadi pada 1983 hingga 2009. Pasca perang, pemerintah terpaksa meminjam uang besar terhadap negara tetangga untuk menganggarkan proyek pembangunan seperti pelabuhan dan jalan.

Diketahui bahwa mereka berhutang ke China sekitar $ 6,5 Miliar atau setara Rp 98 Triliun. Dimana sebelumnya beban hutang mereka mencapai $ 51 Miliar atau sekitar Rp 768 Triliun. Akibatnya dana devisa yang mereka peroleh semakin terkikis lantaran memenuhi pasokan makanan dan bahan mentah sebagai kebutuhan masyarakat.

Melihat situasi itu, negara Group of Seven (G7) seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Italia, Jerman, Prancis dan Kanada memberikan dukungan penuh terhadap Sri Langka dalam upaya meminimalisir beban hutang negara.

Kemudian mereka mendapatkan pinjaman senilai $ 1,9 Miliar atau Rp 28,5 Triliun dari India dan Bank Dunia pun turut meminjamkan kucuran dana sebesar $ 600 juta atau sekitar Rp 9 Triliun.
Dan terbaru, Sri Langka masih melakukan rencana peminjaman terhadap Dana Moneter Internasional (IMF) tak kurang dari $ 3 Miliar (Rp 45,2 Triliun).

Merosotnya Hubungan Perdagangan
Di sisi lain, ketidakseimbangan hubungan perdagangan di Sri Langka pun terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Dimana pendapatan importir mereka hingga kini mencapai $ 3 Miliar atau setara Rp 45,1 Triliun. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan angka ekspor.

Hal tersebut menjadi penguat bahwa Sri Langka semakin sulit dalam mengimbangi stabilitas keuangan dalam sektor eksportir. Angka tersebut diprediksi akan terus menurun seiring berjalan kondisi ekonomi yang berawal dari kurangnya jatah bahan bakar dan tenaga listrik.

Kondisi ini semakin mempersulit peran pemerintah dalam mendapatkan tambahan bahan bakar untuk kebutuhan industri. Sebab neraca keuangan mereka semakin menipis. Faktanya, Sri Langka tengah memiliki cadangan devisa senilai $ 250 juta (Rp 3,6 Triliun) terhitung sejak 2019.

Kelangkaan Pupuk
Presiden Sri Langka Gotabaya tidak mampu menyediakan pupuk impor sejak April 2021. Akibatnya semua petani lokal terpaksa menggunakan pupuk organik dengan memanfaatkan limbah dan kotoran hewan.

Tujuannya hal tersebut demi mengurangi polusi udara dan pencemaran penyakit. Akan tetapi hal tersebut tidak berjalan sesuai rencana lantaran masa panen di setiap ladang mengalami keterlambatan waktu.

Faktanya, produksi terbesar daerah penghasil makanan hingga besar semakin merosot. Di tahun ini, pemerintah berupaya melakukan proses impor kurang lebih 350.000 ton beras. Akan tetapi kondisi tersebut masih belum memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan para konsumen.

Aktivitas Pariwisata Menurun
Sri Langka terkenal sebagai negara yang selalu mendapatkan devisa terbanyak dalam menyuguhkan aktivitas pariwisata. Tapi sayangnya kegiatan tersebut semakin kolaps sebelum masa – masa COVID-19.

Diketahui bahwa telah terjadi kasus pengeboman di sejumlah Gereja dan hotel berbintang pada April 2019. Akibatnya sejumlah 500 orang mengalami luka dan 267 tewas.

Setelah kasus tersebut berakhir, pandemi virus corona melanda penduduk sekitar. Dan terpaksa sejumlah destinasi wisata harus ditutup sementara waktu.

Invasi Rusia Terhadap Ukraina
Perang internasional yang terjadi antara Rusia dan Ukraina menjadikan Sri Langka kesulitan dalam mendapatkan jatah bahan bakar secara reguler. Karena sejak beberapa tahun terakhir, mereka menggantungkan pasokan tersebut secara impor. Namun tahun ini mereka tidak mampu membayar kenaikan tarif yang ditentukan pihak tertentu.

Saat ini sektor perekonomian negara mulai kembang kempis. Berbagai krematorium harus ditutup secara paksa bahkan permanen. Ironisnya, sejumlah warga sekitar harus memanfaatkan kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Terlebih proses kremasi yang berlangsung saat ini dihapuskan dan memilih untuk dimakamkan.

Kurs Dollar Meningkat
Selama beberapa tahun terakhir stabilitas keuangan Sri Langka mengalami masa – masa buruk. Kisruh politik yang melanda juga tak lepas dari anggaran belanja negara untuk keperluan ekonomi rakyat.

Seperti diketahui, biaya hidup di negara tersebut meningkat sangat deras lantaran tingginya nilai tukar mata uang asing (Dollar AS). Kurs Dollar pada masa pemerintahan Gotabaya berkisar 179 Rupee. Namun kini mencuat sebesar 360 Rupee.

Faktanya inflasi kebutuhan pangan saat ini berada pada angka 80 %, dimana sebelumnya masih bertahan pada 50 %.

Buruknya lagi, semua biaya transportasi dilipatgandakan bahkan mencapai tarif yang tak wajar. Selebihnya seluruh warga setempat tidak bisa mendapatkan bahan bakar dan kebutuhan pangan secara bebas lantaran pasokan ekspor-impor sangat terbatas.